by Timboel Siregar, Associate Consultant of Synergy Policies,
All Indonesian Workers' Organization (OPSI)
Kemarin (9/2), Ibu Menteri Ketenagakerjaan memaparkan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) untuk penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi di hadapan anggota Komisi IX DPR RI.
Penempatan PMI melalui SPSK dilatarbelakangi antara lain karena Kerajaan Saudi Arabia telah memiliki regulasi dan tata kelola baru perlindungan pekerja asing sektor domestik. Di sisi lain, permintaan dan minat PMI bekerja ke Saudi Arabia (sektor domestik) cukup tinggi dan sebagai upaya mengatasi banyaknya PMI yang berangkat secara unprosedural dengan visa ziarah/umroh.
Tentunya pilot project penempatan ke Arab Saudi dengan SPSK ini harus benar-benar diabdikan untuk melindungi PMI, bukan sekadar mempermudah proses penempatan PMI ke Arab Saudi atau negara lainnya. Kemajuan teknologi saat ini harus benar-benar bisa memastikan Pemerintah membuat sistem aplikasi teknologi untuk mengetahui kondisi PMI pada saat keberangkatan, bekerja di negara tujuan hingga proses pulang sampai di keluarga di Indonesia. Pemerintah harus terus mampu mengetahui kondisi PMI kita. Pemerintah memposisikan PMI kita terus dalam “rumah kaca”-nya, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, untuk memastikan adanya komunikasi dan menjaga keselamatan PMI kita.
Tidak hanya memastikan terjadinya komunikasi dan keselamatan tetapi Pemerintah juga harus mampu membuat sistem aplikasi yang mempermudah PMI untuk mengurus banyak hal terkait pekerjaannya di negara tujuan seperti perpanjangan kontrak kerja, jaminan sosial, maupun hal lainnya.
Terkait proses dengan melibatkan Syarikah (perusahaan penempatan di Arab Saudi), ini adalah konsep penempatan PMI dari perusahaan ke perusahaan, bukan langsung ke majikan perseorangan. Pada prakteknya banyak masalah juga dengan sistem Syarikah ini. Banyak PMI yang kemudian ditampung di syarikah, lalu baru dicari majikannya bahkan ada yang “dipajang-pajang” dan majikan memilih mana yang mau diambil.
Setelah direkrut oleh majikan, bila majikan tidak cocok maka PMI dikembalikan ke syarikahnya dan berdasarkan laporan NGO buruh migran, ada PMI yang diperlakukan tidak baik di syarikahnya. Jadi sistemnya masih sama seperti agen-agen yang lalu.
Ada PMI kita sudah 4 bulan di syarikah tidak ada majikan yang mau ambil, ya akhirnya semacam “disekap” begitu. Untungnya PMI tersebut bisa menghubungi keluarganya di Indonesia dan kemudian teman-teman mengadvokasi PMI tersebut dan bisa dipulangkan.
Cerita dari korban PMI ini, ada ratusan di syarikah itu yang ditampung dan belum dapat majikan. Sementara itu P3MI yang ada di Indonesia tidak bisa memastikan PMI kita langsung bekerja di majikan di Saudi Arabia. Pemerintah Indonesia tidak mampu mengakses dengan mudah ke Syarikah tersebut untuk melindungi PMI.
Tentunya kejadian-kejadian seperti di atas tidak boleh lagi terjadi, dan harus ada perbaikan signifikan untuk melindungi PMI kita khususnya ketika PMI kita sampai di Arab Saudi. Harus dipastikan PMI yang diberangkatkan ke Saudi sudah jelas majikannya sehingga Syarikah hanya bersifat administratif saja. PMI yang sampai di Arab Saudi langsung ditempatkan ke majikan, tidak menunggu di Syarikah.
Saya berharap ada strategi Pemerintah untuk memastikan PMI bisa langsung ditempatkan ke majikan di Saudi Arabia, tidak menanti di Syarikah, apalagi sampai berhari-hari dan berbulan-bulan. KBRI dan perwakilan Pemerintah Indonesia di Arab Saudi dapat akses mudah ke Syarikah sehingga PMI tetap terpantau dan dilindungi. Saya berharap juga SPSK bisa memastikan P3MI ikut bertanggung jawab atas perlakuan syarikah dan atau majikan di Saudi Arabia yang tidak baik kepada PMI.
Dengan kemajuan teknologi saat ini saya berharap Pemerintah bisa membuat aplikasi-aplikasi yang mampu menjawab permasalahan selama ini di negara tujuan untuk memastikan perlindungan PMI kita. Jangan sampai Pemerintah hanya membuat aplikasi untuk memudahkan penempatan PMI saja minus perlindungan PMI.
Comments